“Jadilah Milikku, Mau?”


“Jadilah milikku. Mau?” Hadi bergumam di depan cermin. Dia sedang merapihkan dandanannya di dalam kamar toilet sebuah restoran. Malam itu dia berjanji untuk melamar Santy menjadi istrinya pada sebuah jamuan makan malam yang sudah dipersiapkannya sebulan yang lalu.

Jadilah milikku, Santy. Mau ya?” sekali lagi Hadi bergumam mempersiapkan dirinya sambil menunggu kedatangan Santy. Setelah dipastikannya dandanannya sudah terlihat sempurna, dia kembali ke meja yang sudah dipesannya. Setelah hampir sepuluh menit menunggu, Santy akhirnya datang juga.

“Maaf ya, Di. Aku telat. Pekerjaan kantorku hari ini menumpuk. Itu sebabnya aku menolak tawaranmu untuk menjemputku karena aku tak tahu pasti kapan aku bisa finish dari kantor,” demikian penjelasan Santy ketika dia tiba.

“Gak masalah, sayang. Yang penting kamu sudah tiba disini,” balas Hadi terseyum. Namun demikian ketegangan tampak jelas diwajahnya.

“Kamu baik-baik saja? Kamu tampak berbeda malam ini. Kamu juga tampak tegang. Ada apa?” tanya Santy bertubi-tubi.

“Tak ada apa-apa, sayang. Saya baik-baik saja. Ayo, kamu ingin pesan menu apa malam ini?” jawab Hadi berusaha mengalihkan perhatian Santy dari ketegangannya.

Sambil menunggu menu pesanan mereka tiba, Hadi mulai bersiap-siap untuk melamar Santy.

“Sayang, sudah lima tahun kita bersama menjalin kisah asmara, dan…ehmm…kita sudah saling mengenal lebih dalam…ehm…” Hadi berusaha sebisa mungkin untuk bersikap tenang meskipun sebenarnya dia sangat gugup. “Santy…”

“Iya?” ujar Santy dengan jantung yang berdebar-debar. Dia menebak-nebak apa yang ingin diutarakan Hadi.

“Santy, maukah kamu menjadi istriku?” akhirnya terucap juga dari bibir Hadi.

“Hadi…,” Santy terperangah.

“Iya, sayang. Jadilah milikku selamanya. Maukah dirimu?” tanya Hadi sekali lagi.

“Iya, saya mau!” sebuah suara menjawab, tetapi bukan Santy.

“Ratih!” seru Hadi terkejut. Santy pun tak kalah terkejutnya dengan apa yang disaksikannya. Dia tak mengenal perempuan itu.

“Iya, Hadi! Saya mau kamu! Titik!” jawab Ratih dengan ketus.

“Apa-apaan ini? Siapa dia, Di?” tanya Santy bingung bercampur marah.

“Saya Ratih! Saya adalah istri Hadi!” jawab Ratih kepada Santy dengan tegas.

“Bohong! Apa-apaan kamu, Ratih? Apa maumu?” Hadi membela diri.

“Bohong?! Bohong katamu?! Jadi selama tiga tahun ini kamu menggauli diriku adalah sebuah kebohongan?! Pistol ini yang akan membuktikannya apakah diriku atau dirimu yang akan bohong, Di!” jawab Ratih geram sambil mengambil sebuah pistol dari dalam tas tangannya. Pengunjung restoran mulai riuh menyaksikan keadaan mereka. Pelan-pelan satu per satu dari mereka menjauh dari meja mereka. Santy pun hendak beranjak dari kursinya.

“Kamu jangan beranjak dari kursimu, nona. Kecuali kau ingin menjadi korbanku yang pertama!” ancam Ratih kepada Santy. Santy pun terpaksa mengurungkan niatnya. Dia hanya menangis dalam ketakutannya. “Tak semudah itu dirimu lari dariku, Hadi! Tak semudah itu! Kau adalah milikku selamanya!” Ratih berujar denga keras dalam kemarahannya kepada Hadi.

Plok…plok..plok…terdengar sebuah suara berupa tepukan tangan.

“Oh, jadi inikah selama ini kelakukanmu dibelakangku, Ratih? Bercinta dengan pria lain sementara suamimu sibuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhanmu? Pergilah kau ke neraka, jahanam!” teriak Robert merebut pistol Ratih dan menarik pelatuknya.

“Tidaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!!!” jerit Ratih sambil menubrukkan tubuhnya ke Robert.

Cut!” teriak Winda, sang sutradara.

Advertisement

14 thoughts on ““Jadilah Milikku, Mau?”

Thanks in advance either for having left a reply or liked my post :)

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s